Tuesday, August 16, 2016

Laporan Utama Pertama:GeoPolitik Kedaulatan Data dan Bangsa


GEOPOLITIK & STRATEGI GLOBAL

Proxy Great Wall China


Sebuah kumpulan artikel kajian yang disusun oleh tim editor Komite.ID bersama komunitas Telematika, APJII, Koperasi KDIM dan beberapa pakar narasumber edisi Agustus ini melihat fenomena disrupsi digital ekonomi terkait kedaulatan dan ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI (Republik Indonesia) ke 71 dengan tema “Kedaulatan dan Ketahanan Data, Internet, Ekonomi RI".
Pertanyaan riset yang kemudian timbul: 
Apakah WNI (Warga Negara Indonesia) dan Negara masih memiliki Kedaulatan dan masih dapat menjaga ketahanan disektor Telematika dan ekonomi dengan disrupsi Teknologi & Ekonomi Digital serta Globalisasi setelah 71 tahun Merdeka?

Data menjadi komoditas masa depan atau 'the next strategic commodity, oil' ujar Gerd Leonhard, futurist/visionary Swiss di CommunicAsia 2016 dan Internet merupakan sarana komunikasi data yang semakin strategis bagi masyarakat Telematika RI di masa depan, serta menjadi platform pertumbuhan data global. Dengan meningkatnya Disrupsi Teknologi Informasi, Pengguna Internet Global melonjak mencapai 3.011 miliar (42%) dari 7.21 miliar manusia di dunia (2015) atau satu dari tiga manusia di dunia yang terkoneksi Internet dan terdata. 
 
Menjadikan banyak sosmed (sosial media) OTT (Over the Top) yang memiliki pengguna diatas 1 Miliar seperti Facebook 1.5 miliar, Whatsapp 1 miliar menyebabkan semakin cepatnya pertumbuhan big data, dimana 90% data yang terkumpul di dunia berasal dari era 2 tahun terakhir dan menjadi komoditas strategis intelijen dan data mining oleh Big Brother Korporasi Sosial Media pengganti minyak bumi.

Di Indonesia penetrasi Smartphone, Internet dan Social Media sudah diatas 40% dan jumlah ponsel sudah diatas 100%, sehingga fenomena data mining, clouds, 
big data dan privacy sudah ada dilingkungan kita, terutama daerah urban, sub urban dan Generasi Milenial.
Perkembangan Trafik data global pun semakin eksponensial dengan meningkatnya jumlah Smartphone di dunia 3.65 miliar, lebih dari 51% (2015), artinya kalau dirata-rata satu di antara dua manusia di bumi menggunakan telepon seluler dan manusia semakin termonitor oleh Big Brother operator dunia.
Disrupsi berikutnya ke depan adalah IOT (Internet of Things) dimana koneksi internet tidak saja dilakukan oleh manusia, namun sensor baik CCTV dilorong-lorong jalan, web cam baik di PC, Laptop, Tablet atau Smartphone, maupun yang ditanam di tubuh kita (wearable device), bahkan outdoor oleh GPS, satelit komunikasi, total mencapai 15 miliar device yang terhubung (wired) ke Internet tahun depan menurut Intel, meningkat 5 kali dari Pengguna Internet Global 2015, sehingga nyaris kita tidak tidak mungkin bersembunyi dari jaringan masif informasi digital dunia ini.
Hampir setiap ponsel, tablet dilengkapi dengan chipset GPS, sehingga tidurpun anda ditracking oleh geopositioning satelit.
Ingin bukti, coba saja ambil foto dengan ponsel anda, maka lokasi anda kemungkinan sudah di tag di metadata foto anda, serta dibelakang layar teknologi big brother, face recognition bisa saja bekerja melakukan data mining dan analytics, tanpa harus secara sukarela diupload di Facebook.
Sedangkan menurut studi Gatner mencapai 26 miliar (2020) koneksi Internet, setara 300% dari populasi manusia di bumi.
Drone siap diluncurkan menggunakan teknologi augmented reality seperti console online game, jika ditenggarai mengganggu keamanan dan berpotensi menimbulkan teror global kemanusiaan. Selamat datang di era Cyberwar perang Big Brother di medan augmented virtual reality dan data mining global.

STRATEGI GREAT FIREWALL CHINA JAGA KEDAULATAN NEGARANYA.
Seperti yang dilakukan Amerika, Tiongkok mulai sadar dan berpikir jauh ke depan pada era 1990an, dengan strategi copycat (meniru) untuk melindungi kedaulatan Data, Internet Ekonomi Digital dan Warga Tiongkok dengan membangun firewall, Great FireWall China melalui Golden Shield Project untuk  membatasi/filter akses data oleh asing melalui Internet (Internet Censorship). 
Dari semenjak dua dekade yang lalu Tiongkok mengejar AS untuk segera  membangun semua Over The Top (OTT) aplikasi. Sosial media Renren (Facebook ala Tiongkok dengan 150 juta pengguna), Tencent or Sina Weibo (Microblog, Twitter ala Tiongkok dengan 22 % penetrasi), Tencent QQ atau Wechat (Instant Messaging dengan 100 juta pemakai), Douban (Myspace dengan 80 juta pengguna), Diandian (Tumblr ala Tiongkok), Youku Tudou (Youtube ala Tiongkok) berusaha agar tidak tergantung pada OTT Global sejak dini dan dimulai ketika masih pada tahap dini, sehingga tidak menimbulkan dampak pada masyarakat Tiongkok, seperti halnya di Indonesia.
Baidu  (Search Engine untuk 740 juta website, 80 juta image dan 10 juta multimedia seperti audio dengan pangsa pasar 56.5% pengguna Internet Tiongkok).

     Pada 1999, Tiongkok melalui Alibaba pun sadar ketertinggalannya dan membangun kedaulatan ekonomi dan pasar dengan B2B Ecomerce. Pada 2003 membangun versi C2C (eMarket Place) Taobao, Taobao Mall B2C EmarketPlace dan system pembayarannya Alipay (Paypal versi Tiongkok), perusahaan Fintech (Financial technology) dan meniru Amazon Cloud membangun Alibaba Cloud Computing Company (2008).  Apakah Tiongkok sukses membangun kedaulatan ekonomi dan pasar? Bayangkan, Penjualan Alibaba memcapai $ 170 Miliar (2012) sudah mengkerdilkan Amazon dengan omset $ 74.4 miliar (2013) sedangkan Ebay $ 16 milar (2013) atau hanya sepuluh persen omset Alibaba. Alibaba melayani 300 juta dari 1.4 miliar penduduk Tiongkok dengan 25,000 pegawainya, sedangkan Amazon melayani 327 juta masyarakat AS, sedangkan ecommerce di India melayani 1.2 miliar penduduk India. Perusahaan raksasa AS di ritel dan market place adalah Wall-Mart bekerjasama dengan JD.com (Jindong Mall) di Tiongkok untuk bersaing dengan Alibaba.
Di angkasa, system navigasi global dan satelit pun Tiongkok tidak mau kehilangan kedaulatan dan tergantung pada system GPS AS dengan membangun BeiDou Navigation Satellite System (BDS) memanfaatkan 2 satelit yang diluncurkan sendiri sejak 2000 menjadi full scale global navigation systems yang berdaulat bebas dari kekuatan teknologi GPS dan System Navigasi AS.
Tiongkok selalu meluncurkan dan membuat satelitnya sendiri.Sehingga ditenggarai Tiongkok berani menantang AS di Laut Cina Selatan (LCS), karena Tiongkok berdaulat dan bebas dari teknologi Big Brother, sistem satelit komunikasi, navigasi dan sistem posisi global(Geo positioning System GPS) lawannya. Seandainya Tiongkok tidak memiliki BeiDou dan OTT dikuasai AS, maka AS dapat saja mematikan atau melakukan jamming GPS nya sehingga pesawat tempur dan kapal Tiongkok tidak dapat melakukan patroli dan navigasi di LCS. Selamat datang di era disrupsi CyberWarfare, perang Cyberspace, era Big Brother dan Big Data. (RR)

<==

Artikel lebih lengkap dan laporan lainnya yang tidak kalau menarik... dapat diperoleh di edisi cetak No 05/2016 Edisi HUT RI Agt-Sep 2016

Merdeka !

<==

No comments:

Post a Comment